KEBENARAN ILMIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia sebagai makluk
pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi
berupa agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. Agama menghantarkan pada kebenaran
sedangkan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran. Manusia sebagai
makluk yang dinamis akan berusaha untuk menemukan kebenaran melalui berbagai
cara seperti menggunakan rasio. Pengalaman-pengalaman yang dilalui manusia
membuahkan sebuah prinsip yang dimana kejadian yang berlaku di alam dapat
dimengerti.
Manusia akan selalu
mencari kebenaran, karena jika manusia mengerti dan memahami kebenaran maka
sifat alami manusia akan terdorong untuk melaksanakan kebenaran, sebaliknya
jika manusia tidak mempunyai pemahaman tentang kebenaran maka manusia akan
mengalami pertentangan batin dan konflik psikologis. Karena di dalam kehidupan
manusia sesuatu yang dilakukan harus seiring dengan kebenaran di jalan hidup
manusia yang dijalaninya. Karena supaya manusia tidak bosan untuk mencari
kenyataan yang telah ditunjukan oleh kebenaran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Definisi dari Kebenaran?
2.
Macam-macam teori kebenaran?
3.
Bagaimana sifat-sifat kebenaran ilmiah?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui arti dari kebenaran
2.
Untuk mengetahui macam-macam teori kebenaran
3.
Untuk mengetahui sifat-sifat kebenaran ilmiah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kebenaran
Manusia memiliki sifat
yang senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan yang timbul kehidupannya.dalam
mencari ilmu pengetahuan, manusia melakukan 3 hal, objek yang dikaji, proses
menemukan ilmu dan manfaat atau kegunaan ilmu tersebut. Untuk itu manusia akan
selalu berpikir, dengan berpikir akan muncul pertanyaan dan dengan bertanya
maka akan ditemukan jawaban yang mana jawaban tersebut adalah suatu kebenaran.[1]
Secara
bahasa kata kebenaran itu bisa dikategorikan sebagai suatu kata benda yang
konkret maupun abstrak (abbas hamami, 1983), secara bahasa arti dari kata
kebenaran adalah proporsi yang benar. Apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proporsi yang diuji itu pasti memiliki
kualitas sifat atau karakteristik hubungan dan nilai. Proporsi sendiri berarti
makna yang dikandung dalam suatu pernyataan
(statement). Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu
saja terlepas dari kualitas,sifat, hubungan dan nilai itu sendiri.[2]
Sedangkan
definisi dari kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti
kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat
obyektif, didalamnya terkandung sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang
berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[3]
Dari
kedua definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian kebenaran
adalah suatu nilai utama yang berada di dalam kehidupan manusia, sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia yang berarti sifat manusiawi
atau martabat kemanusiaan selalu berusaha untuk mencari suatu kebenaran.
Menurut Ford (2006), kebenaran atau truth
dapat dibedakan atas 4 macam.[4]
a.
Kebenaran metafisik (T1).
Sesungguhnya
kebenaran ini tidak bisa diuji kebenarannya ( baik melalui justifikasi maupun
falsifikasi/kritik) berdasarkan norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam,
logika deduktif, atau standar-standar perilaku profesional. Kebenaran metafisik
merupakan kebenaran yang palingmendasar
dan puncak dari seluruh kebenaran (basic ultimate truth) karena itu
harus diterima apa adanya ( given for granted). Misalnya, kebenaran iman dan
doktrin-doktrin absolut agama.
b.
Kebenaran etik (T2).
Kebenaran etik merujuk pada perangkat standar moral
atau profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan. Seseorang dikatakan
benar secara etik bila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu.
Sumber kebenaran etik bisa berasal dari kebenaran metafisik atau dari norma
sosial-budaya suatu kelompok masyarakat atau komunitas profesi
tertentu.kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan
ada pula yang relatif.
c.
Kebenaran logika (T3).
Sesuatu dianggap benar apabila secara logika atau
matematis konsisten atau koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar
atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik. Aksioma
metafisik yang menyatakan bahwa 1+1=2 maka secara logika dianggap benar. Namun
demikian, di dalam kebenaran ini juga tidak terlepas dari konsensus orang-orang
yang terlibat didalamnya. Misalnya, 1+1 ≠3, karena secara konsensus telah
diterima demikian.
d.
Kebenaran empirik (T4).
Kebenaran ini yang
lazimnya dipecayai melandasi pekerjaan ilmuan dalam melakukan penelitian.
Sesuai (kepercayaan asumsi,dalil,hipotesis,proposisi) dianggap benar apabila
konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi, dijustifikasi,
atau kritik.
Dari
uraian tersebut, dalam kajian filsafat ilmu yang menjadi fokus utama adalah
kebenaran empirik (T4). Kebenaran empirik sering disebut sebagai kebenaran
ilmiah. Namun, tentu saja dengan tidak mengesampingkan kebenaran lainnya.
Ada
tigadari hal pokok dalam suatu kebenaran (proporsi) ketiga hal itu adalah
subyek, predikat dan kopula (tanda), contoh :”manusia itu tidak kekal” manusia
(subyek) tidak kekal (predikat) sedangkan kata adalah tanda, makna yang
dimiliki dalam kalimat itu sungguh benar. Jadi kalimat tersebut dapat dikatakan
sebagai sebuah proporsi/kebenaran. Namun bagaimana jika kebenaran itu
mengandung suatu makna yang membuat perubahan, contoh: “kita tersesat di
jalan”, setelah sejenak berfikir, kita berkata pada diri kita. sendiri, jalan
keluarnya adalah bertanya pada orang tentang jalan. Proporsi ini mengandung makna bagi kita, jika kita bertanya pada orang, dengan kata lain maka
kita telah menemukan pemecahan masalah untuk menemukan jalan. Hal itu berarti
secara tidak langsung kita telah mengucapkan suatu proporsi/kebenaran.
Lalu
apa yang dimaksud dengan ilmiah? Dalam kamus telah dijelaskan kata ilmiah
berasal dari kata ilmu yang berarti pengetahuan.[5]
Namun dalam kajian filsafat antara ilmu dan pengetahuan itu dibedakan .
pengetahuan bukan ilmu tapi ilmu adalah akumulasi pengetahuan sedangkan yang
dimaksud ilmiyah adalah pengetahuan yang didasarkan atas terpenuhinya
syarat-syarat ilmia, terutama menyangkut teori yang menunjang dan sesuai dengan
bukti.[6]
Lantas
apakah ukuran tentang kebenaran sehinggan kebenaran itu dapat diterima oleh
masyarakat? Kebenaran sangat bergantung kepada metode-metode yang digunakan
untuk memperoleh pengetahuan. Misalnya: “ seorang guru agama ingin anak-anak
didiknya supaya bisa menghafal 25 nama nabi “menghafal merupakan metode
sedangkan 25 nama nabi adalah pengetahuan dari metode hafalanyang diterapkan
guru tersebut kepada anak didiknya. Dan diketahui adalah ide-ide maka
pengetahuaannya terdiri dari ide yang dihubungkan secara tepat dan kebenaran
itu memiliki hubungan dengan ide-ide atau proposisi-proposisi.
B.
Teori - Teori Kebenaran
Ada tiga teori utama tentang Kebenaran yaitu Teori korespondensi, Teori Koherensi/konsistensi, dan Teori Pragmatisme. [7]
a)
Teori korespondensi
Teori korespondensi menyatakan bahwa
kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyatan teori. Adapun motto
teori ini adalah “truth is fidelity to objective reality” ( kebenaran setia/tunduk pada realitas
objetif). Implikasi dari teori ini ialah hakikat pencarian kebenaran ilmiah,
bermuara kepada usaha yang sungguh-sungguh untuk mencari relasi yang senantiasa
konsisten. Teori ini erat hubungannya dengan kebenaran empirik (T4).
b)
Teori Koherensi/konsistensi
Teori ini berpendapat bahwa suatu
kebenaran adalah apabila ada koherensi dari arti tidak kontradiktif pada saat
bersamaan antara dua atau lebih logika. kebenaran terjadi jika ada kesesuaian
antara pernyataan saat ini dan pernyataan terdahulu. Sumber kebenaran teori ini
adalah logika ( manusia) yang secara inheren memiliki koherensi. Teori koheren
bermuara pada kebenaran logis (T3).
c)
Teori Pragmatisme
Teori ini berpandangan bahwa kebenaran diukur dari
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), dan
pengaruhnya memuaskan (satisfactory consequences). Kebenaran mengacu
pada sejauh manakah sesuatu itu berfungsi dalam kehidupan manusia.
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu
proposisi benar jika dilihat dari realisasi proposisi itu.jadi, benar tidaknya
tergantung pada kosekuensi.kebenaran, kata Kattshof, merupakan gagasan yang
benar dan dapat dilaksanankan dalam suatu situasi. Jadi, kata kunci untuk
teori-teori pramagtis ialah “dapat dilaksanakan” dan “berguna”. Para penganut
teori itu mengatakan bahwa benar tidaknya sesuatu tergantung pada dapat
tidaknya proposisi itu dapat dilaksanakan, dan apakah proposisi itu berguna. [8]
C.
Sifat-Sifat Kebenaran Ilmiah
Kebenaran
mempunyai sifat-sifat tertentu apabila dilihat dari segi kualitas
pengetahuannya. Secara kualitas ada empat macam pengetahuan yaitu: pertama, Pengetahuan
biasa, pengetahuan ini mempunyai sifat subjektif. Artinya amat terikat pada
subjek yang mengenal. Kedua, Pengetahuan ilmiah, pengetahuan ini
bersifat relatif. Artinya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah
selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang
paling mutakhir. Ketiga, pengetahan
filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi
pemikiran filsafat, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model
pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran ini bersifat
absolut-intersubjektif. Keempat,
pengetahuan agama. Pengetahuan agama mempunyai sifat dogmatis, artinya
pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan[9].
Kebenaran Ilmiah bersifat objektif dan universal. Bersifat objektif,
artinya kebenaran sebuah teori ilmiah (atau oksioma dan paradigma) harus
didukung oleh kenyataan objektif (fakta). Itu berarti, kebenaran ilmiah tidak
bersifat subyektif. Kebenaran ilmiah bersifat universal sebab kebenaran ilmiah
merupakan hasil konvensi dari para ilmuan di bidangnya. Hanya demikian kebenaran
ilmiah dapat dipertahankan. Hal ini mengandaikan pula bahwa tidak tertutup
kemungkinan suatu teori yang dianggap benar suatu waktu akan gugur oleh hasil
penemuan baru. Biasanya, dalam kasus seperti ini dilakukan penelitin ulang dan
pengkajian yang mendalam. Dan, kalau penemuan baru ( yang menolak kebenaran
lama) bisa dibuktikan kebenarannya, maka kebenaran lama harus ditinggalkan.
Itupun membutuhkan konvensi para ilmuan. Alasan kenapa kebenaran ilmiah juga
bersifat relatif ialah karena rasio manusia terbatas. Ilmu, dan teknologi
mengalami perkembangan tidak sekaligus dan final, tapi tahap demi tahap. Lebih
sering suatu kebenaran berarti kebenaran sementara.[10]
Kebenaran
mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah
dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah
sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan
antara konsekuensi dan fakta observasi.Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan
bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi
atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi
manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta
observasi.[11]
1. Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling
bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa
kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang.
Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah
berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil
aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman.
Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat
universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan
ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang
hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali,
sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari
kebenaran lama maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan
bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.
2.
Falsifikasionis
Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia
berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya
berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama
yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku
sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah
mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang
lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun
verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan
konsep tentang menedekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi
informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati
kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan
isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi.[12]
3. Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative
dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend
memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena
itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap
masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran
merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap
kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku
umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan
segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
4. Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita
mengklain suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu
”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah “representasi atas objek” atau
cermin atas itu. Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi
sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi
kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan
Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”,
karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat
subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau
kepercayaan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
dari
kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut
norma-norma keilmuan. Berdasarkan ketiga teori kebenaran, yaitu teori
koheren,koresponden dan teori pragmatik, secara epistomologis meskipun masing
masing mempunyai perbedaan ukuran, tetapi sebenarnya terikat dalam derajat
ilmiah. Dalam arti bahwa ketiga teori tersebut tidak satupun yang tidak berlaku
bagi jenis ilmu pengetahuan mana pun. Karena kenyataannya, setiap ilmu
pengetahuan selalu mempersoalkan masalah
masalah kebenaran ideal seperti yang di tekankan pada teori koheren , kebenaran
riil seperti yang di tekankan pada pada teori koresponden, dan pada
akhirnya tentu mempersoalkan kebenaran pragmatik seperti yang di tekankan oleh teori
pragmatik.
Secara
etis kebenaran ilmu pengetahuan bukan untuk di pertanggung jawabkan secar
terpisah-pisah , melainkan harus di pertanggung jawabkan secar epistomologis
dan ontologis. Secar epistomologis hasil kebenaran ilmu pengetahuan harus di
pertanggung jawabkan menurut dasar indisipliner agar tepat sasaran yaitu berguna bagi kehidupa manusia. sedangkan
secar ontologis, kebenaran ilmu pengetahuan
harus di pertanggung jawabkan menurut dasar multidispliner agar tepat
sasaran, yaitu berguna bagi kelangsungan ekosistem alam.[13]
DAFTAR PUSAKA
Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB
Press. Bogor : 2016.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat
Ilmu, Liberty. Yogyakarta: 2007.
A. Susanto. Filsafat Ilmu. PT.Bumi
Aksara. Jakarta : 2011
Budiono. Kamus Ilmiah Populer Internasional.
PT. Karya Harapan. Surabaya : 2005.
B. A. Saebani. Filsafat Ilmu. Kontemplasi Filosofis
Tentang Seluk-Beluk Sumber Dan Tujuan
Ilmu Pengetahuan. PT.Pustaka Setia. Bandung : 2009.
J.B Blikololong. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar.Gunadarma.Jakarta:1999.
Suhartono
Suparlan. Filsafat
Ilmu Pengetahuan. Ar-Ruzz Media. Yogjakarta
: 2005.
http://saefulmamun.blogspot.co.id/2015/09/filsafat-ilmu-tentang-teori-kebenaran.html
Senin Jam 22.17
[1]
Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press. Bogor
: 2016. Hal 43
[2] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu,
Liberty. Yogyakarta: 2007. Hal 135
[3] A. Susanto. Filsafat Ilmu.PT.Bumi Aksara. Jakarta : 2011 Hal 85
[4] Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press. Bogor : 2016. Hal 44
[5] Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, PT. Karya Harapan,
Surabaya : 2005. h. 235
[6] B. A. Saebani, Filsafat Ilmu, Kontemplasi Filosofis Tentang
Seluk-Beluk Sumber Dan Tujuan Ilmu
Pengetahuan,PT.Pustaka Setia, Bandung : 2009, h. 32
[7] Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press. Bogor : 2016. Hal 45
[8] J.B Blikololong. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar.Gunadarma.Jakarta:1999 hal 46
[12] http://saefulmamun.blogspot.co.id/2015/09/filsafat-ilmu-tentang-teori-kebenaran.html Senin JM
22.17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar