Rabu, 26 Oktober 2016

Kebenaran Ilmiah Filsafat Ilmu



KEBENARAN ILMIAH

 

BAB I

 PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi berupa agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. Agama menghantarkan pada kebenaran sedangkan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran. Manusia sebagai makluk yang dinamis akan berusaha untuk menemukan kebenaran melalui berbagai cara seperti menggunakan rasio. Pengalaman-pengalaman yang dilalui manusia membuahkan sebuah prinsip yang dimana kejadian yang berlaku di alam dapat dimengerti.
Manusia akan selalu mencari kebenaran, karena jika manusia mengerti dan memahami kebenaran maka sifat alami manusia akan terdorong untuk melaksanakan kebenaran, sebaliknya jika manusia tidak mempunyai pemahaman tentang kebenaran maka manusia akan mengalami pertentangan batin dan konflik psikologis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus seiring dengan kebenaran di jalan hidup manusia yang dijalaninya. Karena supaya manusia tidak bosan untuk mencari kenyataan yang telah ditunjukan oleh kebenaran.


B.     Rumusan Masalah
1.    Definisi dari Kebenaran?
2.    Macam-macam teori kebenaran?
3.    Bagaimana sifat-sifat kebenaran ilmiah?

C.    Tujuan  Penulisan
1.    Untuk mengetahui arti dari kebenaran
2.    Untuk mengetahui macam-macam teori kebenaran
3.    Untuk mengetahui sifat-sifat kebenaran ilmiah
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Kebenaran
Manusia memiliki sifat yang senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan yang timbul kehidupannya.dalam mencari ilmu pengetahuan, manusia melakukan 3 hal, objek yang dikaji, proses menemukan ilmu dan manfaat atau kegunaan ilmu tersebut. Untuk itu manusia akan selalu berpikir, dengan berpikir akan muncul pertanyaan dan dengan bertanya maka akan ditemukan jawaban yang mana jawaban tersebut adalah suatu kebenaran.[1]
          Secara bahasa kata kebenaran itu bisa dikategorikan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak (abbas hamami, 1983), secara bahasa arti dari kata kebenaran adalah proporsi yang benar. Apabila subjek menyatakan kebenaran  bahwa proporsi yang diuji itu pasti memiliki kualitas sifat atau karakteristik hubungan dan nilai. Proporsi sendiri berarti makna yang dikandung dalam suatu pernyataan  (statement). Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas,sifat, hubungan dan nilai itu sendiri.[2]
          Sedangkan definisi dari kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat obyektif, didalamnya terkandung sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[3]
          Dari kedua definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian kebenaran adalah suatu nilai utama yang berada di dalam kehidupan manusia, sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia yang berarti sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan selalu berusaha untuk mencari suatu kebenaran.
Menurut Ford (2006), kebenaran atau truth dapat dibedakan atas 4 macam.[4]
a.       Kebenaran metafisik (T1).
                             Sesungguhnya kebenaran ini tidak bisa diuji kebenarannya ( baik melalui justifikasi maupun falsifikasi/kritik) berdasarkan norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam, logika deduktif, atau standar-standar perilaku profesional. Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang palingmendasar  dan puncak dari seluruh kebenaran (basic ultimate truth) karena itu harus diterima apa adanya ( given for granted). Misalnya, kebenaran iman dan doktrin-doktrin absolut agama.
b.      Kebenaran etik (T2).
               Kebenaran etik merujuk pada perangkat standar moral atau profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan. Seseorang dikatakan benar secara etik bila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu. Sumber kebenaran etik bisa berasal dari kebenaran metafisik atau dari norma sosial-budaya suatu kelompok masyarakat atau komunitas profesi tertentu.kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang relatif.
c.       Kebenaran logika (T3).
               Sesuatu dianggap benar apabila secara logika atau matematis konsisten atau koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik. Aksioma metafisik yang menyatakan bahwa 1+1=2 maka secara logika dianggap benar. Namun demikian, di dalam kebenaran ini juga tidak terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat didalamnya. Misalnya, 1+1 ≠3, karena secara konsensus telah diterima demikian.
d.      Kebenaran empirik (T4).
Kebenaran ini yang lazimnya dipecayai melandasi pekerjaan ilmuan dalam melakukan penelitian. Sesuai (kepercayaan asumsi,dalil,hipotesis,proposisi) dianggap benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi, dijustifikasi, atau kritik.
          Dari uraian tersebut, dalam kajian filsafat ilmu yang menjadi fokus utama adalah kebenaran empirik (T4). Kebenaran empirik sering disebut sebagai kebenaran ilmiah. Namun, tentu saja dengan tidak mengesampingkan kebenaran lainnya.
          Ada tigadari hal pokok dalam suatu kebenaran (proporsi) ketiga hal itu adalah subyek, predikat dan kopula (tanda), contoh :”manusia itu tidak kekal” manusia (subyek) tidak kekal (predikat) sedangkan kata adalah tanda, makna yang dimiliki dalam kalimat itu sungguh benar. Jadi kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah proporsi/kebenaran. Namun bagaimana jika kebenaran itu mengandung suatu makna yang membuat perubahan, contoh: “kita tersesat di jalan”, setelah sejenak berfikir, kita berkata pada diri kita. sendiri, jalan keluarnya adalah bertanya pada orang tentang jalan. Proporsi ini mengandung makna bagi kita, jika kita bertanya pada orang, dengan kata lain maka kita telah menemukan pemecahan masalah untuk menemukan jalan. Hal itu berarti secara tidak langsung kita telah mengucapkan suatu proporsi/kebenaran.
          Lalu apa yang dimaksud dengan ilmiah? Dalam kamus telah dijelaskan kata ilmiah berasal dari kata ilmu yang berarti pengetahuan.[5] Namun dalam kajian filsafat antara ilmu dan pengetahuan itu dibedakan . pengetahuan bukan ilmu tapi ilmu adalah akumulasi pengetahuan sedangkan yang dimaksud ilmiyah adalah pengetahuan yang didasarkan atas terpenuhinya syarat-syarat ilmia, terutama menyangkut teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti.[6]
          Lantas apakah ukuran tentang kebenaran sehinggan kebenaran itu dapat diterima oleh masyarakat? Kebenaran sangat bergantung kepada metode-metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Misalnya: “ seorang guru agama ingin anak-anak didiknya supaya bisa menghafal 25 nama nabi “menghafal merupakan metode sedangkan 25 nama nabi adalah pengetahuan dari metode hafalanyang diterapkan guru tersebut kepada anak didiknya. Dan diketahui adalah ide-ide maka pengetahuaannya terdiri dari ide yang dihubungkan secara tepat dan kebenaran itu memiliki hubungan dengan ide-ide atau proposisi-proposisi.
B.     Teori - Teori Kebenaran
          Ada tiga teori utama tentang Kebenaran yaitu Teori korespondensi, Teori Koherensi/konsistensi, dan  Teori Pragmatisme. [7]
a)         Teori korespondensi
          Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyatan teori. Adapun motto teori ini adalah “truth is fidelity to objective reality”  ( kebenaran setia/tunduk pada realitas objetif). Implikasi dari teori ini ialah hakikat pencarian kebenaran ilmiah, bermuara kepada usaha yang sungguh-sungguh untuk mencari relasi yang senantiasa konsisten. Teori ini erat hubungannya dengan kebenaran empirik (T4).
b)        Teori Koherensi/konsistensi
          Teori ini berpendapat bahwa suatu kebenaran adalah apabila ada koherensi dari arti tidak kontradiktif pada saat bersamaan antara dua atau lebih logika. kebenaran terjadi jika ada kesesuaian antara pernyataan saat ini dan pernyataan terdahulu. Sumber kebenaran teori ini adalah logika ( manusia) yang secara inheren memiliki koherensi. Teori koheren bermuara pada kebenaran logis (T3).
c)          Teori Pragmatisme
Teori ini berpandangan bahwa kebenaran diukur dari kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), dan pengaruhnya memuaskan (satisfactory consequences). Kebenaran mengacu pada sejauh manakah sesuatu itu berfungsi dalam kehidupan manusia.
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar jika dilihat dari realisasi proposisi itu.jadi, benar tidaknya tergantung pada kosekuensi.kebenaran, kata Kattshof, merupakan gagasan yang benar dan dapat dilaksanankan dalam suatu situasi. Jadi, kata kunci untuk teori-teori pramagtis ialah “dapat dilaksanakan” dan “berguna”. Para penganut teori itu mengatakan bahwa benar tidaknya sesuatu tergantung pada dapat tidaknya proposisi itu dapat dilaksanakan, dan apakah proposisi itu berguna. [8]

C.    Sifat-Sifat  Kebenaran Ilmiah
Kebenaran mempunyai sifat-sifat tertentu apabila dilihat dari segi kualitas pengetahuannya. Secara kualitas ada empat macam pengetahuan yaitu: pertama, Pengetahuan biasa, pengetahuan ini mempunyai sifat subjektif. Artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Kedua, Pengetahuan ilmiah, pengetahuan ini bersifat relatif. Artinya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Ketiga, pengetahan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran ini bersifat absolut-intersubjektif. Keempat, pengetahuan agama. Pengetahuan agama mempunyai sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan[9].
Kebenaran Ilmiah bersifat objektif dan universal. Bersifat objektif, artinya kebenaran sebuah teori ilmiah (atau oksioma dan paradigma) harus didukung oleh kenyataan objektif (fakta). Itu berarti, kebenaran ilmiah tidak bersifat subyektif. Kebenaran ilmiah bersifat universal sebab kebenaran ilmiah merupakan hasil konvensi dari para ilmuan di bidangnya. Hanya demikian kebenaran ilmiah dapat dipertahankan. Hal ini mengandaikan pula bahwa tidak tertutup kemungkinan suatu teori yang dianggap benar suatu waktu akan gugur oleh hasil penemuan baru. Biasanya, dalam kasus seperti ini dilakukan penelitin ulang dan pengkajian yang mendalam. Dan, kalau penemuan baru ( yang menolak kebenaran lama) bisa dibuktikan kebenarannya, maka kebenaran lama harus ditinggalkan. Itupun membutuhkan konvensi para ilmuan. Alasan kenapa kebenaran ilmiah juga bersifat relatif ialah karena rasio manusia terbatas. Ilmu, dan teknologi mengalami perkembangan tidak sekaligus dan final, tapi tahap demi tahap. Lebih sering suatu kebenaran berarti kebenaran sementara.[10]
Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.[11]
1. Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman.
Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.
2. Falsifikasionis
Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang menedekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi.[12]
3.  Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.


4.    Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu. Tarski  menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
dari kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Berdasarkan ketiga teori kebenaran, yaitu teori koheren,koresponden dan teori pragmatik, secara epistomologis meskipun masing masing mempunyai perbedaan ukuran, tetapi sebenarnya terikat dalam derajat ilmiah. Dalam arti bahwa ketiga teori tersebut tidak satupun yang tidak berlaku bagi jenis ilmu pengetahuan mana pun. Karena kenyataannya, setiap ilmu pengetahuan  selalu mempersoalkan masalah masalah kebenaran ideal seperti yang di tekankan pada teori koheren , kebenaran riil seperti yang di tekankan pada pada teori koresponden, dan pada akhirnya tentu mempersoalkan kebenaran pragmatik  seperti yang di tekankan oleh teori pragmatik.
Secara etis kebenaran ilmu pengetahuan bukan untuk di pertanggung jawabkan secar terpisah-pisah , melainkan harus di pertanggung jawabkan secar epistomologis dan ontologis. Secar epistomologis hasil kebenaran ilmu pengetahuan harus di pertanggung jawabkan menurut dasar indisipliner agar tepat sasaran  yaitu berguna bagi kehidupa manusia. sedangkan secar ontologis, kebenaran ilmu pengetahuan  harus di pertanggung jawabkan menurut dasar multidispliner agar tepat sasaran, yaitu berguna bagi kelangsungan ekosistem alam.[13]






DAFTAR PUSAKA
Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press. Bogor : 2016.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu, Liberty. Yogyakarta: 2007.
A. Susanto. Filsafat Ilmu. PT.Bumi Aksara. Jakarta : 2011
Budiono. Kamus Ilmiah Populer Internasional. PT. Karya Harapan. Surabaya : 2005.
B. A. Saebani. Filsafat Ilmu. Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk-Beluk  Sumber Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan. PT.Pustaka Setia. Bandung : 2009.
J.B Blikololong. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar.Gunadarma.Jakarta:1999.
Suhartono Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ar-Ruzz Media. Yogjakarta : 2005.


                   






[1] Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press. Bogor : 2016. Hal 43
[2] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu, Liberty. Yogyakarta: 2007. Hal 135
[3] A. Susanto. Filsafat Ilmu.PT.Bumi Aksara. Jakarta : 2011 Hal  85
[4] Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press. Bogor : 2016. Hal 44
[5] Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, PT. Karya Harapan, Surabaya : 2005. h. 235
[6] B. A. Saebani, Filsafat Ilmu, Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk-Beluk  Sumber Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan,PT.Pustaka Setia, Bandung : 2009, h. 32
[7] Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press. Bogor : 2016. Hal 45
[8] J.B Blikololong. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar.Gunadarma.Jakarta:1999 hal 46

[10] J.B Blikololong. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar.Gunadarma.Jakarta:1999 hal 46-47



[13] Suhartono Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ar-Ruzz Media. Yogjakarta : 2005 hal. 140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar